Senin, 14 Februari 2011

CRUSH

Crush

Lihat deh mbak, Dion itu dulu manis ya, tapi sekarang kok beda, tapi kalau aku lihat Ares,dia seperti ayahnya.” Komentar Tante Sherril sambil tangannya menunjuk-nunjuk foto di album ketika Dion masih kanak-kanak.

“Iya lah, tahun ini aku akan menyekolahkan Dion di sekolah khusus finansial. Kelakuannya sekarang sudah diluar kendaliku. Dia sudah mengabaikan perintahku untuk tidak lagi berpikir tentang menulis cerita yang tidak bermutu itu lagi. Masa depan penulis itu tidak jelas. Banyak penulis yang jadi pengangguran dan miskin.” Jelas Martha, mama Dion panjang lebar. Dia seorang pegawai negeri di instansi perpajakan dalam negeri. Yang ada dipikirannya hanya uang, pekerjaan, dan uang lagi.

Sungguh itu yang Dion tidak suka dari mamanya. Dion bukan seorang yang lahir dari cinta. Dan banyak yang bilang kalau Dion hanya beruntung sudah dilahirkan. Dan dia lahir tidak dengan keberuntungan. Sering terlintas dipikirannya, mengapa mamanya rela menghembuskan nafas untuk Dion agar berada di tempat yang disebut dunia? Sesal. Itukah yang dirasakan orang di sekelilingnya. Namun perasaan itu ia mencoba untuk menepisnya jauh-jauh.

Plakk!!!

“Apa ini?” bentak papa sembari menyodorkan lembar jawaban ulangan yang diatasnya tertera angka 80 berwarna merah di muka Dion.

“Inikah hasilmu selama ini? Ini yang ingin kau tunjukan pada papa?”

Sekali lagi tamparannya mendarat di pipi Dion. Keras sekali. Dirasakan cairan asin di mulutnya. Darah.

Kali ini kaki papanya yang ikut serta menghajar Dion. Hingga dia sulit bernapas. Berkali-kali hingga pingsan.

Mamanya hanya memandangnya dingin. Kemudian ia memapah Dion ke kamarnya.

Kriiinnnggg,,,,,,!!!

Alarm yang tak diharapkan berbunyi tepat pukul 5.00. pagi ini Dion harus siap-siap berangkat sekolah. Perih di mulutnya belum hilang. Memar di kakinya ia tutup dengan kaos kaki panjang. Seberapapun ia membenci perlakuan ayahnya, namun tetap saja dia tidak ingin nama keluarganya buruk di mata orang lain.

“Astaga, ada apa dengan bibirmu Dion? Masa sampai biru gitu.” Kinar kaget melihat luka bekas tamparan di muka Dion.

“hehe,, nggak apa-apa lagi. Hanya tadi pagi aku terjatuh dari tempat tidur. Gara-garanya malemnya terbawa pertandingan Chris John versus Rocky Juarez. Widih,! Seru banget bos. Hahahaha!” jawab Dion ringan dengan tawa khasnya

“hahahaha….!!!!” Mereka tertawa lepas. Hanya di sekolah bersama sahabatnya Dion bisa tersenyum. Sejenak lepas dari pedih hatinya.

“Dasar bodoh! Kau pintar ya ngarang ceritanya, lebam di mulutmu bukan karena jatuh dari dipan. Tapi karena sesuatu yang dihantam dengan keras. Kalau saja jatuh di tempat tidur pasti tangannya dahulu yang menyentuh lantai, lihat saja jika kau tertawa! Lukanya ada di dalam mulut. Jadi mustahil wajahmu terbentur meja lampu di pinggir dipan. Oh, ya satu lagi, tempat tidurmu tidak terlalu tinggi kan, kasurnya langsung menempel dengan lantai. Aku mendengarnya ketika ibumu bercerita dengan ibuku tentang kamarmu yang berantakan.” terang Sindhu panjang lebar

“apa maksudmu? Kau hanya pandai bicara dengan omong kosongmu itu. Kau tak tahu itu sungguh menyebalkan!” bentak Dion, nada bicaranya yang tinggi hingga semua teman sekelasnya menoleh ke arahnya. Dia segera berlari keluar kelas.

Di atap sekolah, air matanya menetes. Dia bukan sedang ingin menangis. Hanya menetes saja tanpa rasa.

“Ada apa dengan dirimu Dion, sungguh aku ingin lebih mengenalmu. Kau bodoh! Kenapa harus menutupinya, apa kau tak sadar kalau aku bisa melihat pedih itu dihatimu.” Gumam Sindhu dalam hati, dia berdiri tepat di belakang Dion.

“,,AAARRRGRGGGHHHH,,!!!! Tuhan, apa kau mendengar jeritanku ini? Apa kau masih ingin melihat hambamu ini? Aku disini Tuhan, hanya ingin memohonmu agar aku takkan pernah lagi terlahir.” Tiba-tiba Dion menjerit histeris dan kemudian jatuh.

“hanya itu Tuhan,!” kata Dion pelan. Pandangannya mulai gelap. Dia pingsan.

To be continued. . .